Ketika Abraham Lincoln menyampaikan pidatonya yang sangat terkenal di Gettysburg pada tahun 1863, ia secara sederhana menggambarkan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (government of the people, by the people and for the people). Tetapi kalu di teliti lebih mendalam, inti dari demokrasi adalah pemerintahan “oleh rakyat”. Mengapa demikian? Karena semua pemerintahan, apapun bentuknya, pasti berasal dari rakyat. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang memerintah yang bukan dari rakyat. Dan, karena sebuah pemerintahan otoriter bisa juga berbuat untuk kepentingan rakyat (biasanya disebut benevolent authoritarian regime), maka pemerintah dari rakyat dan pemerintah untuk rakyat tidak murni merefleksikan demokrasi. Hanya pemerintahan oleh rakyat yang murni mencerminkan demokrasi.
Sesungguhnya, semua bentuk pemerintahan memiliki satu sifat yang sama, yaitu kewenangan untuk membuat hukum atau peraturan, serta kekuasaan untuk memaksa semua pihak agar menaati hukum dan peraturan itu. Beda antara sistem yang demokratis dan yang tidak demokratis terletak pada kenyataan bahwa di dalam sistem yang demokratis, kewenangan dan kekuasaan semacam itu dibangun dan dipelihara berdasarkan kesepakatan dari rakyat, sementara didalam sistem yang tidak demokratis, rakyatlah yang memiliki kedaulatan.
Dari itu semua kita kembali pada sistem pemerintahan di Indonesia. Secara umum sistem diartikan sebagai hubungan fungsional antara bagian dalam keseluruhan. Bagian-bagian itu saling berkaitan satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Hubungan itu semikian erat menimbulkan ketergantungan satu sama lain. Sementara arti pemerintahan adalah perbuatan, cara atau hal urusan memerintah yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut E.Utecht, istilah pemerintahan meliputi :
1. Pemerintah sebagai gabungan dari semua badan kenegaraan atau alat perlemngkapan negara yang berkuasa atau memerintah dalam arti luas yang meliputi badan yang membuat peraturan (legislatif), badan yang menjalankan peraturan (eksekutif), dan badan yang mengadili pelanggaran peraturan (yudikatif).
2. Pemerintah sebagai badan kenegaraan tertinggi yang berkuasa memerintah di wilayah suatu negara (kepala negara).
3. Pemerintah sebagai badan eksekutif, yang berati bahwa kepala pemerintahan bersama mentri-mentrinya. Sebagai contoh di Indonesia yaitu presiden yang dibantu oleh para mentri.
Sistem pemerintahan di Indonesia yaitu Presidensial, yang sebelumnya pernah menerapkan sistem Parlementer, yaitu ketika dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang dilanjutkan dengan berlakunya Konstitusi RIS 1945 dan UUDS 1950. Beberapa kelebihan dari sistem parlementer yang pernah diterapkan di Indonesia, antara lain kuatnya lembaga legislatif dalam mengawasi (mengontrol) kebijakan pemerintah sehingga pemerintah tidak berani melakukan tindakan yang menyimpang dari kekuatan yang telah di tetapkan; sistem parlementer mendorong timbulnya partai politik sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat yang dapat menumbuhkembangkan kehidupan politik yang demokratis. Adapun kelemahan dari sistem parlementer yang berlaku di Indonesia antara lain sering terjadinya pergantian kabinet yang berakibat program pemerintah tidak dapat terselesaikan sehingga memicu ketidak puasan rakyat. Dari sini kemudian muncul beberapa pergolakan atau pemberontakan yang dikenal dengan gerakan separatis ataupun ekstremis.
Pemerintahan sebagai seni pengelolaan kekuasaan sudah hadir sejak awal kehidupan manusia. Dari sini sudah jelas bahwa kepemimpinan merupakan inti dari wujud pemerintahan di awal kelahirannya, dan penonjolan wibawa pribadi pemimpin merupakan modal awal dari pemerintahan itu sendiri. Itulah sebabnya maka pemerintahan pada tingkat pertama adalah ruling, melalui mana kekuasaan dikelola sepenuhnya atau sebagian besar berdasarkan petunjuk dan pengarahan sang ruler. Pandangan tentang pemerintahan yang berdasarkan kepada wibawa, kecendekiaan, dan kebijaksanaan sang penguasa itulah yang menjadi acuan Plato ketika ia mempersyaratkan bahwa penguasa seyogyanya adalah juga seorang filosof (the Philosopher King). Baik buruknya pemerintahan, dalam konteks ruling ini, sangat tergantung pada kualitas kepribadian dan kemampuan sang penguasa
Konteks Pemerintahan Demokrasi
Pemisahan kekuasaan, di asumsikan bahwa pada dasarnya berkenaan dengan urusan membuat hukum, menjelaskan hukum, dan memutuskan apakah hukum telah dilanggar dalam kasus tertentu. Ini kemudian yang memberi inspirasi tentang perlunya melakukan pemisahan kekuasaan atas kekuasaan-kekuasaan legislative, eksekutif dan judikatif. Maksud dari pemisahan itu adalah untuk menghindari menumpuknya kekuasaan pada satu tangan, Dengan memisahkan itu tiga cabang kekuasaan itu diharapkan adanya saling ketergantungan dan saling control dalam keseimbangan kekuasaan di antara mereka (checks and balances), sehingga kemungkinan bagi terjadinya penyalahgunaan dan kesewenang-wenangn kekuasaan dapat dihindari. Kekuasaan pemerintah harus disusun dan dibagi ke dalam struktur-struktur kelembagaan dan kewenangan yang saling membatasi, saling mengawai dan saling tergantung satu sama lain. Ini yang dimaksud dengan sistem. Jadi, penguasa bisa datang dan pergi, namun sistem jalan terus. Hanya dengan memperkuat sistem, kelangsungan pemerintahan yang bebas dari kemungkinan diselewengkan dapat diupayakan. menggantungkan nasib pemerintahan, yang juga berati nasib rakyat, kepada kekuasaan orang-seorang, bukan kepada sistem yang solid, akan sangat riskan karena tidak akan mampu menjamin stabilitas dan kontinuitas kehidupan pemerintahan.
Sejalan dengan pemisahan kekuasaan, demokrasi juga menjadikan hukum sebagai landasan peyelenggaraan pemerintahan. Dalam pengertian ini, pemerintah bukan swaja harus menjadikan dirinya sebagai hukum yang bicara, tetapi juga menjamin dan memelihara indepndensi lembaga-lembaga peradilan. Jadi, misalnya, tidak seorangpun dapat ditahan untuk dipriksa oleh polisi kecuali dicurigai telah melanggar hukum (dengan bukti-bukti awal yang cukup), dan tidak seorang pun dapat dipenjara kecuali ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Juga, pemerintah tidak dapat mengambil hak milik orang-seseorang tanpa kewenangan hukum yang jelas dan pembayaran kompensasi yang wajar. Singkatnya, setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang adil berdasarkan hukum yang berlaku. Prinsip tentang hak-hak dasar warga negara ini sudah berlaku di inggris sejak tahun 1215, sebagaimana termuat dalam Magna Carta. Itulah sebabnya, maka negara demokrasi, biasanya diidentikan dengan negara hukum.
Adapun tentang kesedrajatan dan kebebasan, batas-batas dari penerapan atas dua nilai dasar demokrasi ini senantiasa menjadi topik perdebatan. Secara teoritik, kesederajatan diartikan sebagai kesamaan hak dari setiap pribadi untuk menikmati kehidupan dan mengajar kebahagiaan. Ini berkenaan dengan kesederajatan hukum (legal equality), yaitu jaminan perlakuan yang sama kepada setiap warganegara dihadapan hukum; kesederajatan politik (political equality), yaitu kesamaan hak dari setiap warga negara untuk memilih dan dipilih; dan kesederajatan ekonomi (economic equality), yaitu kesamaan hak bagi setiap warga negara untuk bergiat di bidang ekonomi dan memperoleh pelayanan dari negara didalam memajukan kehidupan ekonominya. Untuk yang terakhir ini, dapat dikatakan bahwa banyak penganjur demokrasi berpendapat bahwa keberasilan demokratisasi juga harus diukur dari sejauh mana sistem ekonomi yang berlaku mampu menjembatani kesenjangan tingkat kesejahtraan antara warganegara yang kaya dan miskin.
Kebebasan berpolitik, misalnya; akan tercermin melalui keleluasaan setiap orang untuk mengambil bagian dalam kegiatan politik apapun sepanjang tidak melanggar hukum dan tidak melecehkan etika kehidupan berbangsa. Secara spesifik, demokrasi juga bisa dilihat sebagai sistem yang membuka peluang luas bagi berlangsungnya arrangement kelembagaan untuk memperoleh pemimpin yang legitimate. Menurut Schumpeter, demokrasi bermakna adanya kesempatan bagi rakyat untuk menerima atau menolak orang-orang yang akan memerintah mereka. Ia adalah sebuah mekanisme untuk menyeleksi pemimpin, tetapi pada saat yang sama mencegah terjadinya kesewenag-wenangan sang pemimpin setelah duduk dalam kekuasaan. Madison, de Tocqueville dan J.S. Mill sangat kahwatir terhadap kemungkinan tergelincirnya demokrasi kedalam perangkap majority rule yamg tak terkendali (supermasi mayoritas) karena hal ini dapat mengancam ke bebasan. Menurut mereka, mayoritas yang tidak menghargai hak-hak kebebasan minoritas justru merupakan ancaman terhadap eksistensi demokrasi. Sikap senada juga dikemukakan oleh Hayek: ” if democracy means unrestricted will of majority, I am not a democrat.” Hayek juga mengatakan bahwa demokrasi bukanlah merupakan tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan sebagai alat untuk menjamin tercapainyatujuan politik yang lebih tinggi, yakni keadilan yang tegak diatas fondasi kebebasan dan kesederajatan.
Penerapan atas prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi diatas tentu saja tidak akan pernah sempurna. Demokrasi itu sendiri pada hakekatnya adalah sebuah idealisme tentang sistem pemerintahan yang memberi harga tertinggi kepada harkat manusia sebagai mahluk yang rasional, mandiri, kreatif dank arena itu dewasa. Didalam kenyataan, upaya mewujudkan pemerintahan yang demokrasi, adalah perjuangan yang terus menerus. Pendekatan kearah demokrasi bagaikan sebuah perjalanan menuju horizon yang tak terbatas. Maka, idialisme demokrasi tidak akan pernah terwujud secara sempurna. Tetapi ini tidak penting. Yang penting adalah pilihan untuk mengambil jalan itu, keputusan untuk secara konsisten mengupayakan perwujudan dari sistem pemerintahan yang demokratisitu. Karena, betapapun tidak sempurnanya hasil yang dapat dicapai dari upaya demokratisasi, ia pasti akan mampu menampilkan pemerintahan yang lebih baik dari pada otoritarianisme. Mengapa? Karena demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat, memiliki mekanisme untuk mencegah kesewenag-wenagan, menghargai supermasi hukum, serta mengakui dan melandaskan diri pada nilai kesederajatan dan kebebasan. Persoalannya adalah demokrasi tidak akan terbentuk dengan sendirinya hanya karena ia baik. Ia bukan sesuatu yang dapat terwujud secara alamiah. Demokrasi memerlukan upaya yang konsisten dari semua pihak, pemerintah dan masyarakat, berdasarkan keyakinan bahwa ia merupakan idialisme yang layak diwujudkan. Demokrasi adalah produk dari peradapan.
Pemerintahan Presidensial di Indonesia pada Sistem Demokrasi
Sistem pemerintahan presidensial yang diterapkan di Indonesia didasarkan pada ketentuan UUD 1945. Pelaksanaannya dapat dibagi menjadi empat fase yaitu sebagi berikut;
Fase pertama, tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan 14 November 1945;
Fase kedua, tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan tahun 1968;
Fase ketiga, tahun 1968 sampi dengan 21 Mei 1998;
Fase keempat, tanggal 21 Mei 1998 sampai dengan sekarang.
Untuk mendapatkan gambaran mengenai kelebihan dan kelemahan pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial, kita memfokuskan diri pada pelaksanaan fase kedua, ketiga dan keempat; dengan alasan bahwa pada fase-fase tersebut mempunyai rentang waktu yang cukup lama bila dibandingkan dengan fase pertama yang hanya empat bulan.
Pada fase kedua pemerintahan dipegang oleh Preiden Soekarno. Kelebihan pelaksanaan sistem presidensial pada fase kedua ini, yakni walaupun saat itu terjadi krisis politik, situasi kehidupan masih dapat dikuasai dan terkendali. Keberanian pemerintah mengambil langkah-langkah politik untuk mempertahankan Irian Jaya menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan prestasi bagi pemerintah. Sementara kelemahannya belum berasil melaksanakan pembangunan ekonomi sehingga tingkat kehidupan ekonomi masyarakat sangat rendah.
Dalam bidang politik pada fase kedua ini, pemerintah banyak melakukan penyimpangan-penyimpangan terhadap UUD 1945, seperti berikut ini;
- Presiden mengeluarkan produk legislatif dalam bentuk Penetapan Presiden yang semstinya harus dalam bentuk undang-undang.
- Pimpinan lembaga-lembaga negara dijadikan mentri-mentri dan presiden sendiri menjadi ketua Dewan Pertimbangan Agung. Kedudukan presiden sebagai Dewan Pertimbangan Agung ini sangat tidak logis karena tugas Dewan Pertimbangan Agung menurut UUD1945 ialah memberikan nasehat atau pertimbangan kepada presiden.
- Begitu kuatnya kepercayaan MPRS terhadap presiden sehingga Pidato Presiden pada tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” (Manifesto Politik Republik Indonesia) dijadikan sebagai GBHN yang bersifat tetap, yang dikuatkan dengan Ketetapan MPRS RI No. I/MPRS/1960
- Hak budget tidak berjalan karena setelah tahun 1960 RUU APBN tidak lagi diajukan kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.
- Melalui penetapan presiden No.3 tahun 1960, presiden membubarkan DPR hasil pemilihan umum 1955, kemudian Melalui Penetapan Preiden No. 4 tahun 1960 membentuk DPR Gotong Royong (DPR-RG).
- Melalui Ketetapan MPRS RI No. III/MPRS/1996 telah mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Pengangkatan Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup merupakan penyimpangan Pasal 7 UUD1945 bahwa ” Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesuasah itu dapat dipilih kembali.
(Presiden Soekarno. Meskipun banyak terjadi penyimpangan terhadap UUD 1945, tetapi pemerintahannya mempunyai prestasi penting yaitu, mempertahankan wilayah Irian Jaya sebagai wilayah Indonesia)
Pada fase ketiga, pemerintahan dipegang oleh Preiden Soehart. Sejak menjabat sebagai Presiden mulai Ketetapan MPRS RI No.XLIV/MPRS/1968 beliau memegang pemerintahan sejak 1968 sampai dengan Mei 1998. Beberapa kelebihan pada fase ini ialah bahwa pemerintahan telah melakukan langkah-langkah konstitusional dan pembangunan di segala bidang. Langkah-langkah konstitusional yang dilakukan antara lain;
1. Pengukuhan Surat Printah Sebelas Maret (Supersemar) dengan ketetapan MPRS RI No. X/MPRS/1966
2. Menghapus peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan jiwa UUD 1945, seperti ketetapan MPRS RI No. III/MPRS/1966 (tentang pengangkatan preiden seumur hidup) dan Penetapan Presiden (Panpres) dalam pengangkatan pejabat negara.
3. Pembentukan kelembagaan negara melaui undag-undang, misalnya UU No. 3 Tahun 1973 tentang DPA, UU No. 14 Tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, UU No. 5 tahun 1973 tentang BPK, UU No. 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah serta UU No. 3 tahun 1975 tentang partai politik dan golongan karya.
4. Mengadakan konvensio untuk melengkapi hukum dasar negara yang baru, misalnya pidato kenegaraan presiden setiap awal tahun (penyampaian RAPBN) dan pidato kenegaraan presiden menjelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus (penyampaian pelaksanaan pembangunan)
Langkah-langkah pembangunan yang dilakukan, yaitu mencanagkan pelaksanaan pembangunan lima tahun (yang dikenal dengan Pelita) yang meliputu; bidang politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan secara berencana, terarah, terpadu dan berkesinambungan melalui GBHN yang ditetapkan oleh MPR setiap lima tahun sekali.
Beberapa hal yang perlu di perhatikan dan diperbaiki pada fase ini, kita dapat melihat pada pelaksanaan di bidang ekonomi, yaitu penduduk miskin umumnya masih terkonsentrasi di daerah pedesaan, tingkat pendapatan tinggi hanya dinikmati oleh sekelompok orang tertentu, dana pembangunan kurang terealisasiyang sesuai dengan kebutuhan masyarakatkarena banyak dana yang digelembungkan (mark-up), terjadinya krisis moniter yang berkelanjutandengan krisis ekonomi dan krisis kepercayaan yang cukup parahsehingga mengakibatkan Indonesia terjerumus dalam perangkap utang (debt trap) ratusan meliar dolar Amerika Serikat dan terjadinya pemutusan hubungan kerja buruh maupun karyawan secara besar-besaran.
(Presiden Soeharto menandatangani bantuan IMF. Pada penghujung masa Orde Baru Indonesia terperangkap pada hutang yang membengkak akibat krisis moniter. Sebuah pelajaran berharga bagi bansga Indonesia agar selalu berusaha sekuat tenaga maupun berdiri diatas kaki sendiri)
Dalam bidang sosial budaya, misalnya merebaknya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme; banyaknya perjudia yang merusak kehidupan sosial serta moral masyarakat; rekatnya budaya feodalisme yang didasarkan pada rasa ketakutan kepada atasan ( bisa dikenal dengan budaya ABS atau ”Asal Bapak Senag”)
Dalam bidang politik, misalnya pemerintah menerapkan keberpihakan kepada salah satu kekuatan politik.Disamping itu pengaruh budaya paternalistik dan budaya neofeodalistiknya mengakibatkan proses partisipasinya dan budaya politik dalam sistem budaya politik nasional tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Pada fase keempat ditandai oleh lengsernya pemerintahan Orde Baru yang di pimpin oleh Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sebagai akibat dari krisis moniter yang berkembang menjadi krisis multidimensi (krisis seluruh aspek kehudupan yakni; politik, sosial, ekonomi dan budaya) dan berlanjut kepada krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Situasi tersebut mengharuskanbangsa Indonesia untuk mengkaji ulang ketetapan dan langkah-langkah pembangunan nasionalnya selama ini. Untuk itu perlu koreksi terhadap wacana pembangunan Orde Baru sebagai dasar pijakan dan sasaran reformasi. Tujuan reformasi pembangunan sebagaimana yang tercantum dalam BAB III Ketetapan MPR RI No. X/MPR/1998 ialah sebagai berikut;
a. Mengatasi krisis ekonomi dalam waktu sesingkat-singkatnya terutama untuk menghasilkan stabilitas moneter yang tanggap terhadap pengaruh global dan pemulihan aktivitas usaha nasional.
b. Mewujudkan kedaulatan rakyat dalam seluruh sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui perluasan dan peningkatan partisipasi politik rakyat secara tertib untuk menciptakan stabilitas nasional.
c. Menegakan hukum berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta hak asasi manusia menuju terciptanya ketertibaan umum dan perbaikan sikap mental.
d. Meletakan dasar-dasar kerangka agenda reformasi pembangunan agama dan sosial-budaya dalam usaha mewujudkan masyarakat madani.
1. Bidang Politik
Agenda yang harus dilaksanakan untuk penaggulangan krisis di bidang politik antara lain sebagai berikut;
a. Pembuatan undang-undangpolitik yang sesuai dan mendukung proses demokratisasi
b. Melaksanakan pemilihan umum yang langsung, umum, bebas rahasia, jujur dan adil;
c. Menumbuhkan pemerintahan yang bersih sebagai pelayanan masyarakat dan bertindak berdasarkan undang-undang dalam rangka lebih meningkatkan kredibilitas pemerintah di mata rakyat;
d. Mewujudkan stabilitas keamnan dan ketertiban masyarakat.
Pelaksanaan reformasi di bidang politik yang ditujukan pada usaha penegakan kedaulatan rakyat ialah dengan agenda;
a. Menegakan kedaulatan rakyat dengan memberdayakanperanan pengawasan oleh lembaga negara, lembaga politik dan lembaga kemasyarakatan;
b. Menghormati keberagaman asas atau ciri, aspirasi, dan program organisasi sosial politik serta organisasi kemasyarakatan yang tidak bertentangan dengan pancasila;
c. Pembagian secara tegas wewenag kekuasaan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif; dan
d. Menyesuaikan implementasi dwifungsi ABRI dengan paradigma baru peran ABRI dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2. Bidang Ekonomi
Agenda yang harus dijalankan untuk penaggulangan krisis di bidang ekonomi antara lain sebagai berikut;
a. Mewujudkan nilai tukar rupiah yang stabil dan wajar melalui pemilihan dan penetapan sistem nilai tukar untuk mengendalikan fluktuasi kurs;
b. mengendalikan suku bangsa dan menekan laju inflasi;
c. Melakukan restrukturisasi dan penyehatan perbankan sesuai dengan Undang-Undag Perbankan;
d. Menciptakan mekanisme penyelesaian utang-utang swasta untuk mengembalikan citra dan kepercayaan luar negeri terhadap kredibilitas usaha nasional;
e. Menyediakan kebutuhan sembilan bahan pokok dan obat-obatan yang cukup serta yang terjangkau oleh rakyat;
Agenda yang harus dilaksanakan untuk reformasi di bidanmg ekonomi yaitu;
a. Mewujudkan kebijakan ekonomi mikro dan makro yang transparan
b. Membenahi lembaga-lembaga keuangan, terutama sektor perbankan
c. Membuat perekonomian lebih efisien dan kompetitif dengan menghilangkan praktik monopoli maupun monopsoni
d. Meningkatkan keterbukaan pemerintah dalam pengelolaan usaha untuk menghilangkan KKN dan praktik-praktik ekonomi yang merugikan negara dan rakyat; dan
e. Melaksanakan deregulasi ketetapan-ketetapan yang menghambat investasi, produksi, distribusi dan perdagangan
3. Bidang Agama, Sosial dan Budaya
Agenda yang harus dilaksanakan berkaitan dengan penaggulangan krisis dalam kehidupan keagamaan, sosial dan budaya antara lain sebagai berikut;
a. Peningkatan kulitas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
b. Pengadaan dan peningkatan sarna dan prasarana ibadah
c. Melaksanakan program jaring pengaman sosial dengan sasaran khususnya di bidang pangan dan kesehatan
d. Melaksanakan kebijakan penyelamatan pelajar dan mahasiswa dari ancaman putus sekolah; dan
e. Peningkatan akhlak mulia budi luhur dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti di sekolah
Agenda reformasi tidak hanya berati pada sebuah wacana belaka namun ternyata ada tidak lanjut yang kongkrit, antara lain sebagai berikut;
a. Adanya perubahan atau penyempurnaan terhadap pasal-pasal UUD 1945 untuk disesuaikan dengan perkembaqngan jaman. Perubahan atau penyempurnaan terhadap UUD 1945 itu sering dikenal sebagai amandemen UUD 1945;
b. Adanya Undag-Undang Partai Politik yang dapat mendorong kehidupan berdemokrasi; dan
c. Adanya Undang-Undang Pemilihan Umum yang lebih demokratis untuk memilih anggota legislatif dan memilih presiden serta wakil presiden secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Apa yang telah dilakukan oleh pemerintahan reformasi, secara jujur harus diakui telah menunjukan adanya perubahan-perubahan yang berati walaupun masih terdapat kekurangan-kekurangan yang perlu dibenahi. Dalam jangka pendek selama pemerintahan reformasi ini telah terjadi beberapakali pergantian presiden karena kehidupan politik negara kita belum cukup mantap. Disamping itu, penyakit kronis yang melanda bangsa Indonesia, yakni korupsi, kolusi, dan nepotisme belum kunjung sembuh. Bahkan disinyalir (diduga) praktik-praktik KKN tersebut menjadi semakin parah, yang tidak hanya di tingkat pusat, tetapi juga di tingkat bawah (daerah). Tingkat pertumbuhan ekonomi berjalan sangat lambat sehingga upaya untuk meningkatkan dan mengentaskan masyarakat miskin masih terasa berat. Untuk itu diharapkan dalam ferormasi ini segala bidang yang tidak dapat dijalankan dapat di gerakan dengan upaya-upaya yang dilakukan. Dalam pemerintahan terdapat tiga paradigma pemerintahan yang dapat difungsikan dalam hal tersebut di era reformasi.
Pandangan Terhadap Pemerintahan di Era Reformasi
Dalam perkembangan lebih lanjut, konsensus-konsensus etis yang dibangun dalam proses governing itu dituangkan kedalam aturan-aturan hukum yang mengikat. Sejumlah nilai yang pada mulanya disepakati secara etis, yang ketaatan atasnya diharapkan lahir secara sukarela, telah berubah menjadi hukum yang ”harus” di taati. Kalau pelanggaran atas kesepakatan etis akan dihaapkan pada hukum sosial, maka pelanggaran atas hukum sudah merupakan tindak pidana. Pada saat semua kesepakatan etis yang dicapai dimasa lampau dikonversi kedalam konstitusi dan menjadi hukum positif apalagi penegakan hukum sudah menjadi agenda utama dari sebuah pemerintahan, maka negara hukum sudah memukan bentuk yang difinitif. Didalam konteks negara hukum itu, pemerintah tidak lagi terbatas sebagai proses governing, tetapi sudah menjadi proses administering. Efektifitas pemerintah tidak lagi tergantung semata-mata kepada kapasitas pribadi seseorang penguasa, juga tidak kepada kemampuan para pemimpin untuk membangun konsesus-konsesus, tetapi lebih kepada sistem administrasi yang baku dan absah. Disini prosedur, persyaratan, dan aturan main untuk pengambilan keputusan dibidang pemerintahan sudah dengan sendirinya menjadi acuan bagi semua pihak; pemerintah dan masyarakat. Pengawasan atas tingkat ketaatan kepada konstitusi dan hukum sudah menjadi tanggung jawab bersama, karena keduanya memang merupakan milik bersama.
Berdasarkan ulasan diatas dapat kita gambarkan tiga pandangan terhadap pemerintahan, yaitu;
Pertama, pemerintahan sebagai a ruling process yang ditandai oleh ketrgantungan pemerintah dan masyarakat kepada kapasitas kepemimpinan seseorang. Dalam proses ini, kepribadian seorang pemimpin mendominasi hampir seluruh interaksi kekuasaan. Kualitas pemerintah tergantung mutlak pada kualitas si pemimpin. Kalau pemimpin pemerintah adalah seseorang yang baik, maka baiklah pemerintahan itu. Demikian pula sebaliknya. Seluruh pengambilan keputusan dalam proses pemerintahan ditentukan oleh, atau tidak boleh bertentangan dengan, keinginan pemimpin. Ia adalah pembawa kemakmuran dan kebahagiaan. Sebaliknya, ia juga dapat menjadi sumber bencana dan malapetaka.
Dalam situasi ruling, pemimpin mendiktekan nilai-nilai. Bahkan hukumpun diformulasikan secara sepihak dan karena itu mengabdi kepada kepentingan kekuasaan. Artinya, pemimpin memiliki keleluasaan untuk tunduk kepada nilai-nilai dan hukum yang berlaku atau melanggarnya jika tindakan itu dipandang lebih menguntungkan kekuasaannya. Dalam konteks historis, proses ruling uni terlihat baik dalam sistem kerajaan absolut (zaman kuno) maupun sistem diktatorial/ authoritarian (zaman moderen).
Kedua, pemerintah sebagai a governing process, yang di tandai oleh praktek pemerintahan yang berdasarkan pada konsensus-konsensus etis antara pemimpin dengan masyarakat. Pemerintahan dijalankan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk melalui diskusi dan diskursus (wacana) yang berlangsung dalam ruang publik (public sphere). Dalam proses ini, walaupun sistem hukum yang ada belum lengkap, kekurangan itu ditutupi oleh tradisi membuat konsesus tadi. Kedaulatan rakyat sebagai sebuah konsep dasar tentang kekuasaan telah menemukan bentuknya di sini.
Ketiga, pemerintahan sebagai an administering process, yang di tandai oleh terbangunnya suatu sistem hukum yang kuat dan komperensif, melalui mana seluruh interaksi kekuasaan dikendalikan oleh suatu sistem administrasi yang bekerja secara tertib dan teratur. Kalau sistem ini sudah terbangun, masalah kepribadian pemimpin tidak lagi menjadi faktor determinan. Siapa pun yang masuk ke dalam posisi kepemimpinan akan dipaksa oleh sistem yang berlaku untuk tunduk pada aturan main dan nilai-nilai yang sudah baku. Aparatur dan warga negara yang secara aktif menaati aturan-aturan hukum itu berperan sebagai pengawas atas kejujuran dan konsistensi proses kepemimpinan yang berlaku.
Ketiganya ini merupakan tahapan-tahapan dalam pembangunan sebuah pemerintahan. Pemisahan atas ketiga konsep ini hanya untuk menggambarkan bahwa nilai-nilai yang melekat dan menyertai proses pemerintahan berubah berdasarkan dinamika masyarakat di mana pemerintah itu mengambil tempat. Kalau kita menerima ketiga konsep itu sebagai nilai atau norma yang berdiri sendiri dan penghayatan atas masing-masing nilai itu bersifat bulat, maka pergeseran dari ruling ke governing ke administering seyogyanya dilihat sebagai isyarat kemajuan. Dalam kenyataan, setiap pemerintahn memiliki karakter yang membaurkan lebih dari satu sifat dasar dari tiga pandangan yang dikemukakan tadi diatas. Suatu praktek pemerintahan yang semula sudah lebih dekat kepada proses governing bisa saja mundur kembali ke proses ruling. Contohnya yang paling kongkrit bagi masyarakat moderen adalah kasus Jerman sebelum dan sesudah naiknya Hitler sebagai Kanselir.
Jika dikaitkan dengan demokrasi, maka proses governing merupakan awal dari kelahiran pemerintahan yang demokratis, dan proses administering merupakan wujud yang lebih menjamin kelangsungan pemerintahan yang demokratis itu.